Kamis, 22 Desember 2016


Sikap mungkin dapat disejajarkan dengan etos. Namun bisa juga merupakan bentuk cara pandang. Karena tulisan ini berkaitan dengan pendatang sebagai subyek maka lebih ditik beratkan pada pengertian sebagai cara pandang.
Akibat dari fanatisme pada ajaran agamanya, dalam hal ini Islam. Maka dalam bawah sadar Tau Samawa terbentuk sebuah konsep diri kolektip. Menurut hadist dalam Islam, seorang individu diposisikan sebagai kullukum raa’in, yaitu pemimpin. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Menurut adat Sumbawa, makmurnya sebuah negeri tergantung kepada bagaimana kedekatan pemimpin dengan yang dipimpin. Siapapun itu, dalam arti bukan hanya manusia memimpin manusia, tetapi bagaimana manusia dengan benda dan alam lingkungannya.

Pada sebuah komunitas seperti dusun atau desa ada disebut “benteng desa” berupa pagar yang mengelilingi dusun/desa sebagai pembatas antara luar dan dalam kampung. Apabila ada sesuatu yang masuk kedalam kampung berupa barang maupun perbuatan haram dan kotor dianggap sebagai sumber penyebab sebuah petaka. Sebuah petaka adalah peringatan Tuhan untuk selalu ingat dan waspada menjauhi segala laranganNYA dan selalu mengamalkan perintahNYA. Ada kehati-hatian karena mengacu pada surat Al-A’araf, 96 yang mengatakan “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah KAMI melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi; tetapi mereka ingkar, sehingga kami menyiksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia di muka bumi, Tau Samawa menjaga interaksi antar personal, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam lingkungan. Posisi kepemimpinan yang melekat pada setiap insan Samawa, adalah sosok mengadaptasikan Asma’ul husna dalam dirinya. Minimal apa yang bisa diaplikasikan dalam dirinya pada suatu kasus tertentu, semuanya harus mengacu kepada sifat-sifat Allah yang tertuang lewat Asma’ul Husna. Sebagai contoh, lihat saja bagaimana oramg Sumbawa terhadap dua etnik disampingnya (Mbojo dan Sasak). Semua pasar didominasi oleh orang luar Sumbawa khususnya Mbojo dan Sasak sebagai tetangga dekat. Tau Samawa (orang Sumbawa) sendiri sepertinya tidak berbuat apa-apa. Celakanya, orang sering menilai sikap tersebut sebagai sikap malas, tidak kreatif.

Padahal adalah wujud sikap kasih, sayang, adil, pemurah, dan seterusnya. Banyak kasus-kasus lain yang sesungguhnya berpotensi akan menjadi konflik (apabila dietnik lain), namun di Sumbawa sejarah mencatat tidak pernah membesar. Kalaupun ada konflik, maka dapat dipastikan dapat terlokalisir untuk tidak meluas.

Ada sebuah lawas :

Mana si tau seberang kayu
Lamen toq senyaman ate
Ba nan sisanak perana

Walau siapapun itu
Kalau ia mampu memberikan kebahagiaan
Dialah saudaramu

Dari lawas itu saja sudah terlihat jelas betapa keterbukaan hati Tau Samawa menerima siapa saja. Tau Sabarang kayu arti sebenarnya adalah orang sembarangan, orang dari mana saja, orang belum dikenal, orang belum bermartabat. Tetapi karena sifat kekhalifaannya, Tau Samawa menerima pendatang tanpa curiga. Etos kerjanya bagaikan lebah yang memberikan manfaat kepada manusia lain, dan baru bereaksi ketika ada tekanan.

Bagaimana dengan pendatang lain yang berbeda agama dan keimanan? Inilah yang sebenarnya dianggap sebagai sebarang kayu, yang disebut juga sebagai Tau no tutoq ai-api atau tau nda petraq.

Terhadap orang seperti itu dulunya dilokalisir pada tempat tertentu, baru kemudian setelah mampu beradaptasi dapat diajak berpartisipasi dalam pergaulan yang lebih luas.

Dari interaksi itulah lahir keterikatan yang ditandai dengan syarat empat: klek – datang; suru – lalo; eneng – beang; beang – tangko. Artinya : ketika dipanggil datang, disuruh harus segera pergi, bila diminta dapat memberikan dan bila diberikan dan bila diberikan mau menerima.

Hal seperti itu berjalan alami dalam relung kehidupan Tau Samawa. Dan ketika masa kerajaan dulu terbentuk pemukiman-pemukiman berciri etnik pendatang seperti : Kampung Jawa, Kampung Bugis, Marilonga, Kampung Timur, Karang Dima. Setelah zaman kemerdekaan barulah ada pemukiman etnik Bali. Lebih-lebih setelah meletusnya gunung Agung dan program transmigrasi dari pemerintah pusat.

Sikap seperti itulah yang menjadikan Sumbawa menjadi tempat orang yang datang enggan pulang. Daerah senap-semu(ng), nyaman nyawe, meskipun diluar terkenal sebagai daerah kering. Masalah selanjutnya adalah bagaimana sinergi pendatang dengan mereka yang sudah menetap lama untuk saling asa, saling asuh dan saling asih menggali dan mengembangkan poitensi Sumbawa. Momentum globalisasi yang dikambing hitamkan orang sebagai penyebab terkikisnya tatanan nilai luhur bangsa, harus kita sikapi melalui aksesibilitas nilai budaya luar dan sekaligus Tau Samawa harus mampu secara diaspora mengusung nilai budaya itu dimanapun ia berada. Budaya global….. siapa takut ! Budaya lokal…. Yes!!!!

Sumber: adesamawa