Jumat, 23 Desember 2016


Oleh: Dewi Adawiyah

Lingkungan Hidup Tau Samawa

Secara geografis kabupaten Sumbawa terletak pada posisi yang cukup strategis, yaitu berada pada segi tiga emas kawasan pariwisata antara pulau Bali, Lombok dan pulau Komodo. Kabupaten Sumbawa juga memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup potensial, yaitu berupa lahan pertanian dan peternakan dan telah ditetapkan sebagai lumbung padi dan daerah pengembangan ternak di NTB.

Di samping itu, juga memiliki kekayaan hutan, flora dan fauna, mineral, pertambangan emas dan tembaga, industri dan sumber daya kelautan dengan panjang pantai mencapai 900 km. Luas wilayah darat mencapai 8.493 km2 dan wilayah laut 4912,46 km2. Jumlah penduduk seluruhnya 452.746 jiwa, (laki-laki 228.717 jiwa dan perempuan 224.029 jiwa). Sedangkan jumlah penduduk asli (etnis Samawa) mencapai 68,66% selebihnya adalah berasal dari etnis Bali, Sasak (Lombok), Jawa, Sunda, Madura, Mbojo (Bima/ Dompu), Bugis, Makasar, Minang, Sumba/ Timor, dan Arab.

Penduduk asli Sumbawa atau yang kemudian dikenal dengan nama Tau Samawa akan menjadi pokok bahasan. Pada awalnya mereka merupakan para pendatang yang menemukan daerah baru. Pada saat itu tempat mereka mendarat dijadikan sebagai tempat bermukim.

Kemudian pemukiman mereka berkembang sampai masuk ke pedalaman. Masuknya mereka ke pedalaman disebabkan kebutuhan akan lahan pertanian yang subur. Mereka semua berasal dari berbagai daerah  dan memiliki tingkat keahlian dan ilmu pengetahuan yang tinggi dalam bercocok tanam dan perbintangan. Diantara mereka ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Aceh, Minang, Banten, Banjar, Jawa, kemudian Sulawesi melalui pantai selatan, barat, maupun utara.

Namun perpidandahan penduduk ke Sumbawa telah terjadi jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Batu-Buddha diantara Senawang dan Batu Rotok. Sejak saat itu pulau yang sebelumnya bernama Pulau Nasi berubah menjadi Pulau Sumbawa. Nama Samawa sendiri berasal dari bahasa Sansakerta yang berarti menunjuk ke selatan, tempat yang aman tentram, subur  makmur. Hal ini mengacu pada salah satu nama semedi Buddha Sidharta Utama yaitu Samava (yoga atau meditasi Buddha).

Sejak zaman kuno, Hindu-Buddha, hingga Kesultanan, Daerah Sumbawa telah menjadi lahan pertemuan antar etnik Nusantara. Akulturasi yang terjadi di dalam masyarakatnya terjadi secara alami dengan menerima dan diterima dengan penuh keterbukaan. Pada masa Dewa Batara Sukin dari Kerajaan Dewa Awan Kuning, wilayah ini masih belum menyatu dan teratur dalam adat istiadat serta sistem pemerintahannya. Pada saat itu tidak ada perbedaan antara Raja dengan Menterinya, menteri dengan bawahannya hingga dengan rakyat jelata sekalipun sama sekali tidak ada perbedaannya. Namun berbagai upaya dilakukan oleh raja untuk memperbaiki keadaan tersebut. Ini terjadi pada masa Kerajaan Hindu-Buddha.

Ada hal yang unik dalam masuknya Islam ke Sumbawa, jika pada umumnya raja memeluk agama Islam terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh rakyatnya. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Sumbawa, terbukti dengan adanya penemuan arkeologis yang menyatakan bahwa masyarakat Sumbawa lebih dulu memeluk Islam dari rajanya. Ketika Islam masuk ke Sumbawa, wilayah ini masih di bawah pengaruh Majapahit. Namun kondisi ini tidak mengurangi penerimaan mereka terhadap para pedagang muslim yang sekaligus menyiarkan agama Islam.

Pada saat itu Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam sedang berkuasa di wilayah Jawa. Sehingga ketika Sultan Trenggono wafat, menyebabkan hubungan yang sulit antara Kerajaan yang ada di Sumbawa. Meskipun Islam diterima oleh masyarakat, namun para petinggi kerajaan belum bisa menerimanya. Sehingga penyebaran Islam ini dilanjutkan oleh pedagang dan mubaligh yang berasal dari Ternate yang telah belajar agama di Gersik, Tuban, dan Demak.

Pada awal tahun 1960-an beberapa Kerajaan yang berada di Wilayah Timur memeluk islam, dan ini mempermudah proses islamisasi di Sumbawa. Bergabungnya beberapa kerajaan kecil setelah mereka masuk islam menjadi awal berdirinya Kerajaan Sumbawa. Kemudian Kerajaan Sumbawa ini bergabung dengan Kerajaan Gowa, bahkan setelah menaklukan Kerajaan Selaparang kedua kerajaan tersebut bergabung. Hingga akhirnya Kerajaan yang diberi nama Kerajaan Gowa tersebut bergabung dengan Kerajaan Tallo dibawah Raja Gowa Karaeng Tumapa risi Kallonna tahun 1551.

Sumbawa sendiri merupakan salah satu kabupaten terluas yang didiami oleh salah satu etnik terbesar di Nusa Tenggara Timur yaitu Tau Samawa. Tau Samawa (yang mengaku dirinya orang Sumbawa), merupakan orang yang lahir, besar, dan tumbuh di Sumbawa meskipun tidak berdarah asli Samawa. Selama ia merasa dirinya bagian dari wilayah Sumbawa, maka ia termasuk Tau Samawa. Tau Samawa telah berhubungan dengan berbagai etnik yang berada di Nusantara sejak lama.

Hal ini menyebabkan terjadinya asimilasi dengan berbagai etnik tersebut yang kemudian berkembang menjadi Tau Samawa. Meskipun kebudayaan Samawa sendiri lebih besar dipengaruhi oleh Budaya Bugis dan Makasar jika dilihat dari beberapa bentuk upacara pada tataran ningrat. Namun dalam kesenian dan arsitektur tradisionalnya sangat kental dengan pengaruh Melayu. Pengaruh kebudyaan Jawa yang di bawa oleh Kerajaan Majapahit juga melebur dengan kebudayaan Samawa.

Tau Samawa mempunyai pedoman dan pegangan dapat dilihat dari berbagai akitivitas tradisi masyarakat yaitu “ADAT BERSENDIKAN SYARA SYARA BERSENDIKAN KITABULLAH”. Modernisasi telah membuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi perlahan terkikis. Namun sebenarnya tradisi Samawa tidak benar-benar hilang secara fisik, karena hal ini telah melekat dalam diri masyarakat Samawa sendiri.

Ada sepuluh konsep kearifan lokal yang didasari oleh rasa-saleng dalam masyarakat Samawa.

Saleng-sakiki yaitu selalu berbagi rasa satu sama lain, bahwa dalam keprihatinan pun tidak harus meratapi diri sendiri, tetapi bersama-sama saling mengatasi dan memecahkan setiap persoalan yang dihadapi.

Saleng-pedi (saling mengasihi), adalah sikap berempati terhadap penderitaan orang lain. Rasa ini tumbuh dari kemampuan saleng-sakiki dengan sesama orang terdekat kemudian akan meluas kepada siapa saja orang-orang yang mengalami penderitaan.

Saleng-satingi (saling menghormati), terlebih kepada tamu atau siapapun dia.

Saleng-satotang (saling mengingatkan) satu sama lain. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas Tau Samawa.

Saleng-sadu (saling-percaya), tumbuh dari dalam lubuk jiwa yang didasari oleh rasa malu apabila berlaku curang.

Saleng-sayang (saling sayang), muncul dari kebiasaan sehari-hari dari rasa saling percaya mempercayai.

Saleng-tulung (saling bantu), sebagai manifestasi dari kebiasaan gotong royong di masyarakat.

Saleng-beme (saling bimbing), saling membina diri antara satu dengan yang lainnya.

Saleng-jango (saling jenguk), tidak hanya menjenguk ketika sakit, namun ditekankan pada mengembangkan silaturahmi dengan sesama.

Saleng-santuret (saling seia sekata), suasana demokrasi dalam dimensi keluarga dan persaudaraan.

Bahasa Tau Samawa

Bahasa biasanya dipakai oleh anggota kolektivitas mulai pada lingkungan keluarga sampai dengan batas lingkungan di mana warga yang merasa dirinya Tau Samawa berada. Sebelum pemekaran Kabupaten Sumbawa menjadi dua kabupaten, Bahasa Samawa dipakai mulai dari Empang sampai ke Jereweh. Dengan demikian masyarakat memunculkan beberapa kelompok bahasa yang disebut logat (dialek). Bahasa Sumbawa terbagi dalam empat dialek, yaitu Jereweh, Taliwang, Tongo, dan Sumbawa besar. Dari empat dialek ini terbagi lagi ke dalam sub-sub dialek. Dialek Jereweh terdiri dari dua sub dialek yaitu, dialek Beru dan Lalar. Dialek Taliwang terdiri dari tiga sub dialek yaitu, Salet, Meraran, dan Mantar. Dialek Tongo mempunyai empat sub dialek, Tatar, Singa, Emang, dan Labangkar. Dialek Sumbawa besar mempunyai tiga sub dialek, Rhe, Seran, dan Batu Rotok.

Pemakaian Bahasa Samawa cukup luas, sehingga pengaruh antar dialek tidak bisa dihindarkan. Bahasa Sasak juga berpengaruh terhadap Bahasa Samawa, dikarenakan letak geografis yang berdekatan. Selain itu pengaruh Bahasa Melayu juga Jawa masuk ke dalam Bahasa Samawa. Namun, anehnya pengaruh Bahasa Mbojo tidak ada sama sekali meskipun secara geografis berada dalam wilayah yang berdekatan dengan Sumbawa. Pada masa kini ada kecenderungan Bahasa Samawa cepat atau lambat akan punah. Hal itu terlihat dari adanya gejala-gejala awal, yaitu kecenderungan keluarga Sumbawa memakai Bahasa Indonesia untuk komunikasi dalam keluarga.

Kepercayaan Rakyat Tau Samawa (Panyadu Tau Samawa)

Kepercayaan rakyat Tau Samawa ini lebih menjurus kepada takhayul. Diantara takhayul mereka adalah menyebut tikus yang sedang ribut kawin di loteng rumah dengan panggilan “daeng”. Mereka percaya kalau mendzalimi tikus dengan mengejar-ngejar dan membunuhnya dengan perangkap, atau membakarnya akan menimbulkan akibat yang sangat fatal.

Hama tikus akan merajalela dimana-mana. Untuk mengantisipasinya dengan memelihara kucing atau menyimpan kotak jangkrik peliharaan di dalam lumbung, sehingga tikus tidak berani mendekat. Selain itu adapula larangan untuk bersenandung dan bernyanyi ketika memasak di dapur. Hal ini akan mengakibatkan seorang perempuan menjadi janda dan dibenci oleh mertua.

Tau samawa juga mengenal tentang takhayul yang berhubungan dengan alam gaib. Kepercayaan akan mahluk halus dibeberapa tempat di Sumbawa masih ditemukan. Diantara mahluk halus tersebut, yaitu:

Kono, dipercaya sebagai penghuni lubuk dan jeram di sungai, dianggap tidak mengganggu jika tidak diganggu. Beberapa kejadian yang menimpa masyarakat sering dihubungkan dengan Kono.Misalnya jika ada seseorang yang tenggelam di sungai, biasanya dihubungkan dengan Kono. Sehingga orang-orang melarang bermain-main bahkan mandi di sungai menjelang sore.

Bakiq, dilukiskan sebagai mahluk halus seperti manusia, bedanya tumit kakinya ke depan sementara jari-jari kakinya ke belakang. Berwajah jelek dan ditumbuhi bulu seperti monyet. Baqik adalah mahluk halus yang menjaga satwa di hutan. Jika ada seseorang yang tersesat di hutan, maka mereka percaya yang melakukannya adalah Baqik. Orang yang tersesat di hutang harus menyebutkan mantra “monte rangap” dengan keras. Hal ini akan membuat Baqik ketakutan dan pergi.

Leak, adalah mahluk penghisap darah yang digambarkan mirip kancil atau menjangan muda. Leak ini ada dua jenis, leak yang murni penghisap darah dan leak suruhan yang menyakiti orang atau musuh. Leak penghisap darah akan berkeliaran di rumah orang yang sedang melahirkan atau para gadis yang sedang menstruasi. Sementara leak suruhan akan menyakiti orang dengan santet.

Permainan Rakyat (Pakedek Tau Samawa)

Setiap bangsa di dunia ini mempunyai permainan tradisional. Berdasarkan sifatnya permainan dapat dibagi dua, yaitu permanian untuk bermain dan permanian untuk bertanding. Diantara permanian yang terdapat di Sumbawa adalah:

Barapan, yaitu berkejaran atau menghalau dengan kecepetan. Barapan ini dilaksanakan siang hari, antara pukul 10.00 sampai selesai. Arena Barapan dipersiapkan pada sawah berlumpur dengan ketinggian air sebatas lutut kerbau. Peserta dan penonton yang mengelilingi arena selalu menjadi tolak ukur penyelenggaraan, karena akan menjadi kebanggaan bagi penggagas kegiatan (pemilik sawah). Ini dilakukan karena sebagian besar mata pencaharian penduduk Sumbawa adalah petani dan peternak.

Bakaraci, yaitu permainan keras sehingga pemainnya harus kuat dan tahan terhadap pukulan yang bertubi-tubi. Permainan Bakarci dimainkan oleh dua orang yang bertanding dengan saling pukul menggunakan rotan atau kayu yang ditentukan dan hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Jumlah peserta tidak terbatas, karena permainnya akan berhadapan satu lawan satu sesuai dengan tantangan. Usia pemain paling muda 21 tahun, dan paling tua 40 tahun.

Baranek Bawi, yaitu menghantam bagaikan babi menggusur tanah cari umbi untuk makan. Permainan ini mirip dengan tingkah babi beranak yang marah kalau diganggu. Permainan ini juga dikenal sebagai tinju ala Sumbawa yang dilakukan tanpa sarung tinju, sambil mengingat seikat padi kecil di kedua tangannya. Permainan ini diadakan di musim panen, dalam arena sawah ketika Mataq-ramai (gotong royong memotong padi). Pelaku permainan ini pemuda berumur 17 tahun ke atas, maksimal berusia 35 tahun.

Lontak Batu Asa, merupakan permainan anak-anak dan boleh dimainkan oleh semua anak dari segala lapisan sosial dalam masyarakat. Perlengkapan yang digunakan dalam permainan ini hanya berupa kain untuk penutup mata. Perminan ini terdiri dari dua regu dan masing regu terdiri dari dua orang. Setiap regu harus bisa menyelesaikan permainan tanpa kesalahan dengan menyentuh kaki pemain lawan. Jika menyentuk kaki lawan maka dianggap kalah dan akan mendapat hukuman.

Selain permainan yang disebutkan diatas masih banyak permainan tradisional yang terdapat di daerah Sumbawa. Ini akan menambah kekayaan kebudayaan Indonesia. Namun sangat disayangkan dengan masuknya pengaruh globalisasi dengan masuknya berbagai mainan yang di impor dari luar membuat anak-anak melupakan permainan ini. Bahkan orang dewasa juga cenderung mulai meninggalkan permainan tradisional ini. Padahal ini merupakan bagian dari kekayaan lokal yang harus dilestarikan.

Kerajinan Rakyat (Kaboto Tau Samawa)

Seperti masyarakat di daerah lain, Tau Samawa juga memiliki hasil kerajinan sendiri. Hasil kerajinan tersebut semuanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peralatan makan, pakaian, serta keperluan akan kebutuhan peralatan kerja dikerjakan secara tradisional, dan tentunya dengan ciri khas yang berbeda. Dari segi bahan, kerajinan Tau Samawa dikelompokkan dalam empat kelompok besar, yaitu: tanah liat, bambu dan kayu/ daun, benang dan kain, serta benda logam. Pada umumnya hasil kerajinan rakyat Tau Samawa tidak dipasarkan. Hal ini dikarenakan produksinya yang tidak berorientasi kepada bisnis, namun untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pesta Rakyat (Basarame Tau Samawa)

Pesta rakyat pada masyarakat Sumbawa pada umumnya ditekankan pada fungsi-fungsi tertentu berkaitan dengan ekspresi rasa syukur, permohonan dan harapan, silaturahmi dan gotong royong. Begitu pula Tau Samawa, salah satu bentuk pesta rakyat Samawa adalah panen raya atau mataq-rame (potong padi). Luasnya kepemilikan lahan masing-masing keluarga petani Sumbawa membuatnya tidak mampu bekerja sendiri sekeluarga. Dibutuhkan tenaga bantuan dari luar kampung sehingga disebar pengumuman akan diadakan mataq-rame. Pada pesta mataq-rame tidak hanya sekedar memotong padi tetapi dilengkapi pula dengan berbagai atraksi, permainan dan nyanyiain rakyat. Selain itu pemilik lahan menyiapkan makanan dan minuman dengan memotong minimal seekor kerbau.

Pesta rakyat lain ada yang besifat sakral seperti pesta Ponan di Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir. Pesta ini diadakan setelah seluruh wilayah persawahan selesai ditanami. Pesta Ponan melibatkan tiga desa yang seluruh warga desanya meyakini dirinya berasal dari nenek moyang yang sama. Pada hari pesta Ponan, seluruh warga berbondong-bondong datang menuju ke bukit membawa berbagai macam penganan. Penganan ini diyakini membawa berkah akan mendapat hasil panen yang berlimpah dan terhindar dari serangan hama. Pesta ini diadakan di bukit Ponan dengan berkumpul sebentar kemudian berdo’a bersama kemudian siraman rohani.

Pesta pernikahan atau Pangantan Samawa secara tradisional diawali dengan pecaran tertutup. Meskipun rumah seorang laki-laki dan perempuan berdekatan, mereka tidak akan pernah mengutarakan isi hatinya secara langsung. Biasanya memanfaatkan orang terdekat lewat pengiriman surat atau penyampaian salam yang dipoles dengan lawas dan pantun.

Proses acara pernikahan Tau Samawa yaitu:

Babajakan (penjajakan)
Bakatowan (meminang)
Basaputes (mufakat)
Badaq (pemberitahuan kepada calon wanita)
Nyorong (mengantar dan menyerahkan biaya pernikahan)
Tama kengkam (masuk pingitan):
Barodak (luluran)
Rapancar (berinai)
Nikah (akad nikah)
Rame mesaq (kumpul keluarga di rumah calon pengantin)
Ngireng (mengarak pengantin)
Tokal basai (duduk bersanding)
Ngerang (bertandang ke rumah orang tua kedua belah pihak)

Arsitektur Tradisional (Bale Tau Samawa)

Meskipun pada dasarnya rumah tradisonal masyarakat Sumbawa adalah rumah panggung. Mereka mempunyai standar utama yang mengacu pada Dalam Loka (Istana tua peninggalan terakhir dari kesultanan Sumbawa). Dalam hal membangun rumah masyarakat Sumbawa akan saling membantu, sehingga jika ada yang ingin membangun rumah maka harus diumumkan kepada pemuka masyarakat dan adat. Hal ini untuk memudahkan penentuan lokasi dan jumlah pohon yang akan ditebang di hutan. Kegiatan membangun rumah ini dilaksanakan berdasarkan urutan yang dibuat oleh pemuka masyarakat dan adat. Adapun urutan kegiatannya adalah:

Marempong (menebang pohon)
Barepat (memahat)
Siker Tana (berdoa di lokasi bangunan)
Sanyata-bola (menyetel bahan bangunan)
Bau Lonto (mencari salur bahan pengikat)
Marebas (menebang bambu)
Nyantek (membuat atap bambu)
Sampanang-bale (mendirikan rumah)
Entek-bale (naik ke rumah)

Struktur rumah panggung Sumbawa terdiri dari Ruang Luar, sebagai ruangan untuk menerima tamu, biasanya diberi penyekat sebagai pelindung tempat tidur. Ruang-Tengaq, adalah ruang utama (keluarga), yang berfungsi sebagai ruang makan jika ada tamu.

Ruang Dalam, berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan atau dapur sementaram dan sebagai tempat tidur anak perempuan dan pembantu. Jambang, tambahan dari ruang induk dikhususkan untuk dapur, tempat gentong air, dan tempat cuci piring. Pekonceng, tempat meresapkan air limbah. Kandawari, sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur. Biasanya selalu ada loteng yang berfungsi sebagai gudang, atau sebagai lumbung. Ciri khas rumah ini adalah bangkung yang merupakan ornamen utama. Umumnya berbentuk cagak yang disebut layang.

Pakaian Tradisional (Kre Lamung Tau Samawa)

Disebut pakaian tradisional karena selalu dipakai pada acara dan upacara tradisional. Secara umum dikalangan masyarakat Sumbawa mengenal pakaian tradisionalnya secara turun temurun sperti kre-alang, sapu-alang, sapu-batek, pabasa, dan cilo untuk laki-laki yang tua dan muda. Sedangkan untuk perempuan dikenal lamung pante, cipo-cila, kida sangeng, dan kre-alang. Secara tradisi, masyarakat Sumbawa menempatkan pakaian sebagai tolak ukur kesopanan. Terlihat ketika dalam pertemuan untuk makan bersama mereka akan memakai tutup kepala. Sikap demikian menunjukkan penghargaan atas rezeki yang dianugrahkan oleh Allah Swt.

Masyarakat Sumbawa terkenal memiliki kain songket hasil keterampilan para penenun yang diperoleh akibat persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat Bugis. Songket Sumbawa umumnya menggunakan benang emas, benang perak, juga benang katun. Yang kita kenal sebagai kain selungka, misalnya, adalah songket yang menggunakan benang emas dan perak, dan tampilannya menyiratkan pengaruh kebudayaan Bugis. Jenis lainnya, antara lain, kain tenun motif kotak-kotak yang disebut mbali pida, dan Seperti halnya saudara mereka di Pulau Lombok, estetika masyarakat Sumbawa pun melahirkan corak hias simbolis, stilasi bentuk flora untuk kain perempuan dan penggayaan bentuk fauna atau manusia pada kain kaum lelaki. Kain songket inilah yang kemudian memberi aksentuasi yang khas pada pakaian adat masyarakat Sumbawa.

Daftar Pustaka

[1] Syaifuddin Iskandar Ardiansyah, Konflik Etnis Samawa dengan Etnis Bali: Tinjauan Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik, (Sumbawa: Universitas Samawa, 2010), hlm. 286.

[2] Aris Zulkarnaen, Tradisi dan Adat Istiadat Samawa, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 36-38

[3] Mahsun, Penelitian Dialek Geografis Bahasa Sumbawa, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1994), hlm. 41.

[4] http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1311/kepercayaan-dan-tradisi-suku-sumbawa diakses pada Sabtu 22 Maret 2014.

[5] Soenyata Kartadarmadja & Sutrisno Kutoyo (ed.), Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kebangkitan Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), hlm. 31.

[6] Op.cit., Aries Zulkarnain. Hlm 194

[7] Mila Karmila, Busana Pengantin NTB,  (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), hlm. 3.

Sumber: kuliahsejarah
Foto: rungantanasamawa

Kamis, 22 Desember 2016


Basunat adalah memeotong bagian ujung kelamin anak laki-laki yang berusia antara 3-10 tahun, untuk menjalankan salah satu sunnah rasul. Pada anak-anak perempuan, kegiatan basunat ini di namakan ’ Batoba “. Sering juga terjadi bahwa anak-anak yang di sunat telah berumur lebih dari 10 tahun pada laki-laki. Dan pada perempuan juga terjadi pada umur kurang dari 3 tahun. Salah satu tujuan basunat untuk kebersihan dan kesehatan anak.

Ada beberapa tahapan dalam acara basunat sebagai berikut :
1). Barodak
2). Basunat
3). Barupa

Sehari sebelum anak di sunat , dilakukan acara barodak, yaitu member lulur pada sekujur tubuh anak agar harum, bersih dan segar. Biasanya acara barodak ini di eriahkan oleh ratib rebana ode atau music gong genang. Anak yang akan di sunat biasnya di kenakan pakaian da kain sarung yang bersih dan berwarna putih atau berwarna kuning. Kain sarung tersebut dinamakan “ Awi “.

Pada saat anak di sunat selalu diiringi dengan acara sarakal. Biasnya anak di beri makan telur ayam yang direbus. Ornag yang bertugas untuk menyunat atau memotong ujung kelamin anak adalah sandro sunat. Atau mantri kesehatan atau dokter.

Setelah anak di sunat, di lakukan acara barupa , yaitu pemberian hadiah kepada anak yang telah disunat oleh sanak saudara dan handai taulan ataupun oleh semua orang yang hadir di tempat itu. Hadiah-hadiah itu biasanya berupa unag atau barang, sehingga anak menjadi gembira dan melupakan rasa takut dan rasa sakitnya akibat di sunat. Dalam rangka acara basunat ini biasanya di semarakkan dengan kegiatan-kegiatan permainan rakyat gentao, yaitu semacam permainan pencak silat.

Sumber: nettiliskayanti
Foto: kampung

Sikap mungkin dapat disejajarkan dengan etos. Namun bisa juga merupakan bentuk cara pandang. Karena tulisan ini berkaitan dengan pendatang sebagai subyek maka lebih ditik beratkan pada pengertian sebagai cara pandang.
Akibat dari fanatisme pada ajaran agamanya, dalam hal ini Islam. Maka dalam bawah sadar Tau Samawa terbentuk sebuah konsep diri kolektip. Menurut hadist dalam Islam, seorang individu diposisikan sebagai kullukum raa’in, yaitu pemimpin. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Menurut adat Sumbawa, makmurnya sebuah negeri tergantung kepada bagaimana kedekatan pemimpin dengan yang dipimpin. Siapapun itu, dalam arti bukan hanya manusia memimpin manusia, tetapi bagaimana manusia dengan benda dan alam lingkungannya.

Pada sebuah komunitas seperti dusun atau desa ada disebut “benteng desa” berupa pagar yang mengelilingi dusun/desa sebagai pembatas antara luar dan dalam kampung. Apabila ada sesuatu yang masuk kedalam kampung berupa barang maupun perbuatan haram dan kotor dianggap sebagai sumber penyebab sebuah petaka. Sebuah petaka adalah peringatan Tuhan untuk selalu ingat dan waspada menjauhi segala laranganNYA dan selalu mengamalkan perintahNYA. Ada kehati-hatian karena mengacu pada surat Al-A’araf, 96 yang mengatakan “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah KAMI melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi; tetapi mereka ingkar, sehingga kami menyiksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia di muka bumi, Tau Samawa menjaga interaksi antar personal, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam lingkungan. Posisi kepemimpinan yang melekat pada setiap insan Samawa, adalah sosok mengadaptasikan Asma’ul husna dalam dirinya. Minimal apa yang bisa diaplikasikan dalam dirinya pada suatu kasus tertentu, semuanya harus mengacu kepada sifat-sifat Allah yang tertuang lewat Asma’ul Husna. Sebagai contoh, lihat saja bagaimana oramg Sumbawa terhadap dua etnik disampingnya (Mbojo dan Sasak). Semua pasar didominasi oleh orang luar Sumbawa khususnya Mbojo dan Sasak sebagai tetangga dekat. Tau Samawa (orang Sumbawa) sendiri sepertinya tidak berbuat apa-apa. Celakanya, orang sering menilai sikap tersebut sebagai sikap malas, tidak kreatif.

Padahal adalah wujud sikap kasih, sayang, adil, pemurah, dan seterusnya. Banyak kasus-kasus lain yang sesungguhnya berpotensi akan menjadi konflik (apabila dietnik lain), namun di Sumbawa sejarah mencatat tidak pernah membesar. Kalaupun ada konflik, maka dapat dipastikan dapat terlokalisir untuk tidak meluas.

Ada sebuah lawas :

Mana si tau seberang kayu
Lamen toq senyaman ate
Ba nan sisanak perana

Walau siapapun itu
Kalau ia mampu memberikan kebahagiaan
Dialah saudaramu

Dari lawas itu saja sudah terlihat jelas betapa keterbukaan hati Tau Samawa menerima siapa saja. Tau Sabarang kayu arti sebenarnya adalah orang sembarangan, orang dari mana saja, orang belum dikenal, orang belum bermartabat. Tetapi karena sifat kekhalifaannya, Tau Samawa menerima pendatang tanpa curiga. Etos kerjanya bagaikan lebah yang memberikan manfaat kepada manusia lain, dan baru bereaksi ketika ada tekanan.

Bagaimana dengan pendatang lain yang berbeda agama dan keimanan? Inilah yang sebenarnya dianggap sebagai sebarang kayu, yang disebut juga sebagai Tau no tutoq ai-api atau tau nda petraq.

Terhadap orang seperti itu dulunya dilokalisir pada tempat tertentu, baru kemudian setelah mampu beradaptasi dapat diajak berpartisipasi dalam pergaulan yang lebih luas.

Dari interaksi itulah lahir keterikatan yang ditandai dengan syarat empat: klek – datang; suru – lalo; eneng – beang; beang – tangko. Artinya : ketika dipanggil datang, disuruh harus segera pergi, bila diminta dapat memberikan dan bila diberikan dan bila diberikan mau menerima.

Hal seperti itu berjalan alami dalam relung kehidupan Tau Samawa. Dan ketika masa kerajaan dulu terbentuk pemukiman-pemukiman berciri etnik pendatang seperti : Kampung Jawa, Kampung Bugis, Marilonga, Kampung Timur, Karang Dima. Setelah zaman kemerdekaan barulah ada pemukiman etnik Bali. Lebih-lebih setelah meletusnya gunung Agung dan program transmigrasi dari pemerintah pusat.

Sikap seperti itulah yang menjadikan Sumbawa menjadi tempat orang yang datang enggan pulang. Daerah senap-semu(ng), nyaman nyawe, meskipun diluar terkenal sebagai daerah kering. Masalah selanjutnya adalah bagaimana sinergi pendatang dengan mereka yang sudah menetap lama untuk saling asa, saling asuh dan saling asih menggali dan mengembangkan poitensi Sumbawa. Momentum globalisasi yang dikambing hitamkan orang sebagai penyebab terkikisnya tatanan nilai luhur bangsa, harus kita sikapi melalui aksesibilitas nilai budaya luar dan sekaligus Tau Samawa harus mampu secara diaspora mengusung nilai budaya itu dimanapun ia berada. Budaya global….. siapa takut ! Budaya lokal…. Yes!!!!

Sumber: adesamawa

Kamis, 15 Desember 2016


Ngumang; Merupakan salah satu jenis seni vokal yang umumnya dilakukan oleh satu orang sambil mengucap lawas (pantun atau syair daerah Sumbawa) dengan suara lantang disertai teriakan atau pekikan sebagai pengiring, pemanis, atau daya tarik.

Properti yang biasa digunakan adalah mangkar (tongkat pendek yang diberi hiasan) dan dipegang pada salah satu tangan secara bergantian. Mangkar ini diacungkan atau diputar - putar diatas kepala saat lawas diucapkan atau dilagukan atau ditembangkan sesuai temung (irama atau langgam) khusus.

Kegiatan ngumang ini dilakukan pada saat barapan kebo (Karapan Kebo), pacuan kuda (Main Jaran), tinju tradisional (Barempuk) memakai batang padi yang sudah kering, karaci dll.

Ngumang merupakan ungkapan perasaan seseorang, bila dia berhasil atau menang entah kerbau bisa melanggar pancang (Saka) berarti dia yang menang. Disinilah ngumang ditampilkan.

Sumber: samawamampisrung

Baju adat tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan tiap daerah yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan Sumbawa, wilayah yang terletak di Indonesia bagian tengah. Sumbawa yang didiami oleh dua suku besar, Samawa di Sumbawa Barat dan Mbojo di wilayah Bima, memiliki baju adat yang unik.

Sumbawa Barat yang dahulu pernah didatangi oleh masyarakat Makassar memiliki baju yang sangat mirip dengan baju bodo khas Makassar. Berbagai hiasan dan sarung tenun juga memiliki kemiripan, bedanya sarung tenun yang dipakai masyarakat Sumbawa memakai sarun tenun kre’sesek khas Sumbawa.

Lain lagi dengan Suku Mbojo di Bima. Baju adat yang dinamakan rimpu ini didominasi sarung yang dipakai pada bagian atas dan bawah. Kain yang berbentuk sarung ini digunakan pada bagian kepala sebagai penutup dan sarung lainnya dikenakan sebagaimana sarung pada umumnya.

Sumber: indonesiakaya

Rabu, 14 Desember 2016

barodak
Adapun tahapan – tahapan dalam pernikahan pada masyarakat Sumbawa yaitu :

BAJAJAK (Silahturrahmi antar kedua belah pihak keluarga)
Bajajak adalah pertemuan dua keluarga, atau silahturahhmi antar kedua keluarga. Dalam Bajajak ini lebih kepada perkenalan antar kedua belah pihak keluarga. Pihak laki – laki dating menemui pihak perempuan dengan maksud ingin mengetahui apakah ada orang lain yang sudah meminang atau melamar si perempuan atau tidak. Seandainya tidak ada maka pihak laki – laki akan menyatakan maksud kalau mereka ingin melamar si perempuan untuk anak laki – laki mereka.

TAMA BAKATOAN (Melamar)
Tama Bakatoan yaitu dimana pihak laki – laki datang menemui pihak perempuan dan membicarakan tentang pernikahan. Dalam adat masyarakat Sumbawa, saat proses Bakatoan itu pihak laki – laki datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa SITO.

SITO adalah bungkusan segi empat yang diisi dengan kain kebaya, dan uang seikhlasnya, kemudian bungkusan itu diletakan diatas piring dan dibungkus dengan kain putih. Sito ini digunakan sebagai lambang diterima atau tidaknya lamaran tersebut. Apabila Sito ini di terima maka lamaran diterima, tapi apabila Sito ini dikembalikan maka Lamaran tersebut tidak diterima.

SAPUTES LENG (Keputusan Akhir)
Setelah lamaran diterima oleh pihak perempuan maka yang dilakukan selanjutnya yaitu Saputes Leng (keputusan Akhir. )Dalam proses ini kedua belah pihak membicarakan tentang berapa banyak barang – barang yang harus dipenuhi oleh pihak laki – laki, proses ini lebih pada mufakat. Dan banyaknya barang tersebut berdasarkan keputusan kedua belah pihak agar hajat pernikahan tercapai.

BADA PANGANTAN (Memberitahukan mempelai perempuan bahwa dia akan dinikahkan)
Pada Prosesi ini yaitu memberitahukan kepada mempelai perempuan bahwa dia akan dinikahkan. Yang memberitahukan mempelai perempuan dalam prosesi ini biasanya seorang Nyai.

Contoh kalimat yang biasa dipakai Nyai saat memberitahukan mempelai perempuan misalnya:
Man mo les tama Siti e…, apa kusabale saparah kau ke si Jadok (janganlah sering keluar masuk atau jalan – jalan Siti e…, karena kamu akan saya jodohkan dan nikahkan kamu dengan si Jadok).

Prosesi ini biasanya diiringi dengan Baguntung dan Bagenang. Baguntung yaitu memukul Rantok (alat menumbuk padi tradisonal Sumbawa) menjadi sebuah melodi yang indah.

BASAMULA
Basamula yaitu proses mengawali pekerjaan, atau hajatan yang dimaksud. Proses ini dilakukan dengan mengadakan Nuja Rame (menumbuk padi rame - rame), dengan mengajak semua sanak saudara dan warga kampong yang perempuan. Serta membuat atau memasak minyak Kelapa dengan syarat hanya 3 butir kelapa. Pertanda sebagai awal mengawali semua kegiatan atau pekerjaan dalam hajatan.

SORONG SERAH
Sorong Serah yaitu prosesi dimana pihak laki –laki membawa hantaran berupa apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Acara Sorong Serah ( Nyorong) ini biasanya dilaksanakan dengan sangat meriah dengan iringan ratib rabana ode, bagenang.

SATOKAL AI’
Yaitu Prosesi dimana dalam adat suku Sumbawa ada seorang ketua ritual yang mengatur alat – alat ritual seperti : Telku Batu (kendi batu), tebu, payung, pisang matang dan pisang mentah, Padi gutis, dll. Proses ini juga diiringi oleh Bagenang, air yang ditaruh didalam kendi batu tsb digunakan untuk memandikan mempelai dan mempelai dimandikan diatas TUTUK APIT (bagian dari alat menenun).

BAGENANG
Bagenang adalah memukul gendang (alat musik yang dibuat dari kulit sapi, kerbau, atau kulit kambing) yang dikombinasikan dengan gong dan seruling menjadi sebuah nada dengan berbagai jenis seperti Serama, Pakan Jaran.

BARODAK (Luluran)
Barodak atau luluran adalah salah satu prosesi atau ritual dalam pernikahan masyarakat Sumbawa. Prosesi ini biasanya dilakukan 3 hari 3 malam sebelum akad nikah dilaksanakan. Dimulai dari prosesi awal yang dinamakan Bajalok ( dilulurin oleh 7 Nyai ) dengan diiringin oleh genang, gong, seruling, dll. Dan proses selanjutnya dilakukan oleh INA PANGANTAN (orang yang dipercaya untuk menanggung jawab prosesi itu sampai akhir).

Diakhir prosesi awal mempelai dikelilingi dengan lilin lalu ditiup oleh mempelai sebagai lambang biar wajah mempelai berseri – seri di hari pernikahannya. Setelah prosesi itu dilakukan prosesi BADAIT. BADAIT yaitu menghilangkan bulu – bulu halus dari tubuh mempelai sebagai tanda mempelai akan mengakhiri masa lajangnya.

AKAD NIKAH
Prosesi sacral dalam menuju kehidupan baru, dimana Wali / orang tua menikahkan / menyerahkan putrinya kepada mempelai laki- laki sebagai awal orang tua melepas putrinya untuk menjalani hidup baru. Prosesi akad nikah ini dilakukan oleh mempelai laki – laki setelah sah baru mempelai laki – laki dipertemukan dengan mempelai perempuan.

RESEPSI
Resepsi di lakukan setelah prosesi akad nikah. Resepsi ini dilaksanakan bila kedua belah pihak sepakat tapi bila keadaan tidak memungkinkan biasanya resepsi ini tidak dilaksanakan.

Sumber: charbeell

Senin, 12 Desember 2016


Ratib Rabana Ode merupakan salah satu kesenian daerah Sumbawa yang hingga kini masih dapat dijumpai ditengah-tengah kehidupan masarakat terutama pada prosesi perkawinan putra-putri Tau Samawa. Kendati demikian kesenian Ratib ini juga dikawatirkan akan hilang seperti kesenian daerah lain yang mulai dilupakan masarakat Sumbawa. Sebut saja Karaci yang sudah jarang dimainkan, padahal kesenian daerah ini jika dipelihara dan dikelola dengan baik bisa mendatangkan pendapatan bagi masrakat sekaligus promosi daerah.

Pengembangan sector pariwisata yang didegungkan Pemkab Sumbawa tidak disertai dengan pembinaan dan ada kesan bahwa Pemkab Sumbawa sepertinya kurang menaruh perhatian terhadap upaya pelestarian budaya ini khususnya kesenian daerah. Kalaupun ada, itu hanya sebatas perlombaan sekali setahun.

Kesenian Ratib Rabana Ode ini, terbilang unik karena tidak dijumpai didaerah lain di Indonesia. Ratib atau menyenandungkan bait-bait lagu bernafaskan Islam menggunakan Rabana. Di Sumbawa ada dua Rebana yang dipergunakan yakni Rebana Ode ( Rebana Kecil ) yang dibuat dari kayu dan kulit kambing dan Rebana Rea ( Rebana Besar ) yang dibuat dari kayu dan kulit kerbau. Yang terakhir ini sudah sangat langka sehingga jarang dijumpai diseluruh wilayah Kabupaten Sumbawa.

Sumber: sumbawakotaku